Waspadalah terhadap Dolar AS yang Marah! Bagaimana Nasib Rupiah? Analisis dari Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) dan Tantangan Pasar Keuangan Pasca Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS

Bank Indonesia (BI) melihat tantangan terhadap pasar keuangan makin berat, khususnya pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Dolar AS diproyeksi terus menguat, menekan mata uang di dunia termasuk rupiah.

Firman Mochtar, Kepala Departemen Ekonomi dan Moneter BI menjelaskan pasca terpilihnya Trump, peta dunia bisa berubah. Belajar dari periode pertama beberapa tahun lalu, kebijakan yang pro AS akan membuat ekonomi dunia melambat dari 3,2% menjadi 3,1%.

Baru saja terpilih, Trump juga melemparkan ancaman terhadap China dan kawan-kawan yang tergabung dalam BRICS. Ini menjadi kekhawatiran bagi pemegang modal mengenai arah dunia ke depan.

Inflasi yang menjadi momok menakutkan banyak banyak negara dunia dimungkinkan sulit turun. Termasuk inflasi AS yang diperkirakan tidak turun secepat yang dibayangkan. Inflasi AS kini bergerak di level 2,6%.

Lambatnya penurunan inflasi akan berdampak kepada suku bunga acuan atau Fed Fund Rate. Terbaru BI memperkirakan FFR hanya dipangkas 50 bps pada 2025.

Persoalan menjadi semakin rumit karena tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah AS. Penerbitan obligasi akan mendorong kenaikan yield US Treasury. Dampaknya aliran modal akan bergerak di AS, meninggalkan negara berkembang seperti Indonesia.

“Ini yang akan membuat Dolar Indeks meningkat,” kata Firman dalam agenda BIRAMA (Bank Indonesia Bersama Masyarakat) di Gedung BI, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Indeks dolar AS (DXY) melesat hingga ke titik 106,20 dengan penguatan sebesar 0,44%.

Melansir data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan, mata uang Garuda berada pada posisi Rp 15.850/US$, melemah hingga 0,06% dari penutupan sebelumnya (29/10/2024).

Menebak Arah Rupiah

Firman menambahkan, pergerakan rupiah diarahkan sesuai fundamental dan ekspektasi inflasi serta asumsi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu Rp16.100 per dolar AS. Volatilitas akan dijaga dalam batas yang aman sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

“Kita tidak mau bergerak dengan volatlitas yang tinggi,” tegas Firman.

Adapun strategi kebijakan moneter meliputi suku bunga acuan atau BI rate berdasarkan data terkini. Dalam periode sekarang, BI memilih menahan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

BI rate pada level 6% diharapkan mampu menarik investor untuk menempatkan modalnya di dalam negeri. “Kita masih tahan dulu, fokus ke nilai tukar,” ujarnya.

Stabilitas nilai tukar akan ditopang oleh kebijakan intervensi di pasar valuta asing (valas) pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Di samping itu, Firman melanjutkan adanya penguatan strategi pro market. Antara lain mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan perbankan akan ditingkatkan sehingga tidak ada kekhawatiran perebutan likuiditas.

“Kami tidak melihat ada persaingan likuiditas. SRBI tentang bagaimana kita menarik inflow. Inflow penting saat perekonomian membutuhkan untuk mendorong stabilitas rupiah,” paparnya.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro melihat tekanan berat harus dihadapi rupiah setelah terpilihnya Trump sebagai Presiden AS. Tahun depan diperkirakan rupiah bergerak pada level Rp15.600-16.000 per dolar AS.

“Kita masih melihat range Rp15.600-16.000 per US$ sesuai dengan fundamental yang ada,” kata Andry pada kesempatan yang sama.

Tekanan akan semakin terasa dalam 6 bulan pertama Trump terpilih, seperti situasi kepemimpinannya pada periode pertama. Selanjutnya, menurut Andry normalisasi pada pasar keuangan akan tercipta seiring dengan kemampuan investor membaca arah kebijakan.

Bagi BI maupun pemerintah, kata Andry harus berupaya menambah pasokan valas di dalam negeri melalui instrumen portfolio yang menarik. Perluasan ekspor dibutuhkan agar mampu untuk menambal penurunan harga komoditas andalan utama Indonesia.

(mij/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Masih Penuh Tekanan, IHSG “Terancam” Merosot ke Level 7.000-an




Next Article



BI Rate Sesuai Ekspektasi, Dolar Ambruk 0,49% ke Rp16.095




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *