Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik melemah pada akhir perdagangan sesi I Kamis (5/12/2024), di tengah sikap investor yang masih mencerna pernyataan ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan suku bunga acuan.
Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG melemah 0,45% ke posisi 7.293,96. IHSG terkoreksi ke level psikologis 7.200, tepatnya di 7.290-an, setelah kemarin berhasil kembali ke level psikologis 7.300.
Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 5,1 triliun dengan melibatkan 8,5 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 731.048 kali. Sebanyak 268 saham menguat, 274 saham melemah, dan 235 saham cenderung stagnan.
Secara sektoral, sektor keuangan menjadi penekan terbesar IHSG di sesi I hari ini yakni mencapai 0,82%.
Sejalan dengan sektor keuangan yang membebani IHSG paling besar, beberapa emiten perbankan raksasa menjadi penekan IHSG yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang mencapai 16,7 indeks poin, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) sebesar 13 indeks poin, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sebesar 4,6 indeks poin.
Selain itu, adapula emiten telekomunikasi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) yang juga membebani IHSG di sesi I yakni mencapai 12,6 indeks poin.
Berikut saham-saham yang menjadi penekan IHSG di sesi I hari ini.
IHSG berbalik merana terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengindikasikan akan berhati-hati dalam memangkas suku bunga acuannya kedepan.
Ketua The Fed, Jerome Powell menyatakan bahwa perekonomian AS saat ini lebih kuat dibandingkan yang diperkirakan bank sentral pada September lalu ketika mulai menurunkan suku bunga. Ia juga memberikan sinyal bahwa ia mendukung langkah yang lebih hati-hati dalam pemotongan suku bunga ke depan.
“Ekonomi AS berada dalam kondisi yang sangat baik dan tidak ada alasan untuk itu tidak berlanjut. Risiko penurunan di pasar tenaga kerja tampaknya lebih kecil, pertumbuhan jelas lebih kuat dari yang kami duga, dan inflasi sedikit lebih tinggi,” kata Powell dalam acara New York Times.
Powell juga menjelaskan bahwa pemotongan suku bunga setengah poin pada September lalu dirancang untuk mengirimkan sinyal kuat bahwa The Fed akan mendukung pasar tenaga kerja jika terus melemah. Namun, dalam beberapa bulan setelahnya, data revisi menunjukkan bahwa ekonomi lebih kuat dari perkiraan semula.
Sebelumnya pada Rabu kemarin, dua pejabat The Fed lainnya yakni Presiden The Fed St. Louis Alberto Musalem dan Presiden The Fed Richmond Thomas Barkin, menyatakan bahwa mereka masih menunggu data sebelum memutuskan apakah suku bunga perlu diturunkan lagi.
Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), yang menjadi ukuran utama inflasi AS, telah berjalan stagnan di kisaran 2,6%-2,8% sejak Mei, jauh di atas target 2% bank sentral.
Meskipun para pejabat The Fed optimis bahwa tekanan harga akan mereda, mereka tetap ingin melihat bukti konkret sebelum melanjutkan pemotongan suku bunga lebih jauh.
Sementara itu, data ekonomi lainnya menunjukkan hasil yang beragam. Penjualan otomotif AS di November mencapai level tertinggi dalam lebih dari tiga tahun, menunjukkan konsumsi tetap kuat.
Namun, survei bisnis utama menunjukkan beberapa pendinginan di sektor jasa, dengan kekhawatiran tentang tarif impor baru yang dapat meningkatkan harga.
Powell menekankan bahwa keputusan kebijakan The Fed saat ini sepenuhnya didasarkan pada kondisi ekonomi saat ini, bukan pada kebijakan yang mungkin diterapkan di masa depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH