Isu yang Menakutkan Bank-bank Besar, Trennya Akan Berlanjut di Tahun Depan

Jakarta, CNBC Indonesia – Industri perbankan diperkirakan masih akan dibayangi oleh isu likuiditas hingga tahun depan. Selain memperebutkan dana masyarakat antar sesama bank, kini mereka juga berkompetisi dengan pemerintah.

Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo mengatakan tahun depan adalah jatuh tempo pembayaran surat utang negara sekitar Rp700 triliun per tahun dalam tiga tahun ke depan. Ditambah dengan pengeluaran rata-rata tahunan utang yang ditarik pemerintah sekitar Rp600 triliun, lantas pemerintah membutuhkan kebutuhan likuiditas sekitar Rp1.300 triliun per tahun.

“Dan ini yang membuat sebetulnya, kalau ini jatuh tempo, berarti harus di-replace. Kecuali memang rencananya ada pola-pola lain yang tidak perlu mengambil kepada dana yang beredar,” jelas Banjaran di Sharia Economic Outlook di Kantor Pusat BSI, Senin (23/12/2024).

Selain itu, ia mengatakan pemerintahan baru juga membutuhkan “pembiayaan baru.” Dalam hal ini, ada kebutuhan pembiayaan untuk berbagai program baru pemerintah.

Perbankan pun harus bersaing dengan pemerintah yang menerbitkan instrumen dengan imbal hasil atau yield yang lebih menarik. Seperti, obligasi negara ritel (ORI) dengan bunga kupon di atas 6% dengan tenor 3 tahun.

Maka, tak heran bahwa fenomena “perang” insentif, cashback, dan hadiah yang marak dilakukan perbankan tahun ini bakal berlanjut tahun depan.

Presiden Direktur Krom Bank (BBSI) Anton Hermawan mengatakan saat ini dana pihak ketiga (DPK) menjadi incaran industri perbankan, dan semua berupaya mendapatkannya.

“Jadi sebenarnya perang insentif, perang cashback, perang hadiah itu menjadi sesuatu yang sangat dimunculkan di tahun ini. Dan saya rasa untuk tahun depan juga nggak akan berhenti sih, masih akan terus,” ujar Anton di Penang Bistro, Selasa (3/12/2024) lalu.

Bank besar takut ekspansi kredit

Terpisah, ekonom LPPI Ryan Kiryanto mengatakan bahwa secara umum, perbankan sedang memiliki “isu besar” terkait likuiditas. Hal ini terlihat dari posisi rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang mencapai 87,50% per Oktober 2024, menunjukkan bahwa likuiditas perbankan RI sudah ketat.

“Nah, itu jelas menunjukkan bahwa space atau ruang bank kita untuk lebih agresif ekspansi [kredit] semakin terbatas. Apalagi bank-bank yang memang memiliki stance yang konservatif. Konservatif itu adalah bankir-bankir yang nggak mau ngebut, nggak mau ngegas, nggak mau agresif. Dengan LDR di bank itu 80% ke atas, mereka pasti lebih prudent, lebih hati-hati artinya tidak terlalu bernafsu ya untuk ekspansi,” jelas Ryan saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024).

Ambil contoh PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang dianggap “over-liquid”. Jika merujuk pada laporan keuangan BCA per kuartal III-2024, posisi LDR berada di 75,1% berada di bawah batas bawah Giro Wajib Minimum (GWM) LDR yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), yakni 78%-92%.

Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM bakal kena sanksi. Pada periode yang sama setahun sebelumnya, LDR BCA juga berada di bawah rentang minimum GWM LDR BI, yakni hanya 67,41%. Artinya, BCA lebih memilih membayar denda daripada berekspansi kredit yang tak “prudent.”

Mengenai hal ini, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengakui bahwa pihaknya memang mempertimbangkan prinsip kehati-kehatian. berkomitmen menjaga pertumbuhan kredit berkualitas secara berkelanjutan.

“Ditopang likuiditas yang solid, kami berkomitmen menjaga pertumbuhan kredit berkualitas secara berkelanjutan. Kami berkomitmen mendorong penyaluran kredit ke berbagai sektor, dengan tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian,” kata Hera dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Senin (24/11/2024).

ATM Bank BCA. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)ATM Bank BCA. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Sementara itu, pertumbuhan kredit industri perbankan nasional terus naik dua digit. Tercatat kredit perbankan tumbuh 10,92% yoy menjadi Rp7.657 triliun per Oktober 2024.

Namun, pertumbuhan DPK jauh lebih rendah, yakni 6,74% yoy menjadi Rp8.751 triliun pada periode yang sama. Lantas, ada gap sebesar 4,18% antara kredit dan pendanaan perbankan.

“Kalau pertumbuhan kredit jauh lebih kencang dibanding pertumbuhan DPK, berarti kan pada titik tertentu bank itu harus, saya nggak mengatakan berhenti ya, tetap ekspansi tapi mungkin lebih betul-betul sesuai sesuai kapasitasnya, sesuai kemampuannya. Agar jangan sampai kondisi likuiditas individual bank itu sampai terlalu mepet,” imbuh Ryan.

Bank swasta RI terbesar kedua CIMB Niaga (BNGA) juga lebih memilih mengincar DPK dengan target pertumbuhan 8%, dan telah merevisi target penyaluran kredit menjadi 6% untuk tahun ini.

Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan revisi tersebut dilakukan karena biaya pendanaan atau cost of fund tidak seperti yang pihaknya harapkan.

“Saat ini cost of fund masih tinggi ditambah daya beli kelas menengah yang agak menurun, sehingga juga memberikan tantangan terhadap pertumbuhan loan maupun DPK. Tidak heran jika untuk memenuhi RBB akan challenging juga. Kami merevisi pertumbuhan loan menjadi lebih kecil, melihat cost of fund tidak seperti yang kami harapkan.

Kualitas Aset di Masa Depan: Pentingnya Berhati-hati dalam Industri Perbankan

Pentingnya Berinvestasi dengan Bijak

Dalam sebuah wawancara dengan CNBC Indonesia, Lani menegaskan bahwa penting untuk tidak memaksakan kondisi yang tidak kondusif terhadap kualitas aset di masa mendatang. Menurutnya, jika dipaksakan, hal tersebut dapat berdampak negatif pada perbankan.

Berbagai Tantangan yang Dihadapi Perbankan

Ketika ditanya mengenai berbagai tantangan yang mungkin dihadapi perbankan tahun depan, Lani menjelaskan bahwa biaya pendanaan industri perbankan diprediksi akan tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh kenaikan PPN, tren pelemahan tukar rupiah, dan ekspektasi bahwa suku bunga acuan tidak akan turun di awal tahun depan.

Perhitungan yang Teliti dalam Menghadapi Tantangan

Lani menekankan bahwa perbankan harus lebih berhati-hati dan berhitung lebih dalam dalam menghadapi tantangan tersebut. Bank harus mampu memperhitungkan tingkat rasio kredit bermasalah (NPL) dan pencadangan (CKPN) yang dapat diserap oleh margin bunga bersih (NIM).

Membaca Situasi dan Kondisi Ekonomi

Menurut Lani, bank harus bisa membaca situasi dan kondisi ekonomi dengan baik. Hal ini penting agar bank dapat menentukan arah pertumbuhan dan langkah mitigasi yang tepat.

Kesimpulan

Dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan, perbankan perlu untuk lebih berhati-hati dan berinvestasi dengan bijak. Dengan membaca situasi dan kondisi ekonomi dengan baik, bank dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga kualitas aset dan memastikan kelangsungan bisnisnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *