Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik lesu pada akhir perdagangan sesi I Selasa (26/11/2024), di tengah sikap investor yang menanti rilis data ekonomi dan agenda penting di global dan dalam negeri pada pekan ini.
Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG melemah 0,32% ke posisi 7.290,74. IHSG terkoreksi kembali ke level psikologis 7.200 setelah kemarin berhasil bangkit ke level psikologis 7.300.
Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 6,4 triliun dengan melibatkan 11,7 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 755.832 kali. Sebanyak 232 saham menguat, 317 saham melemah, dan 236 saham cenderung stagnan.
Secara sektoral, sektor keuangan menjadi penekan terbesar IHSG di sesi I hari ini yakni mencapai 0,73%.
Sejalan dengan sektor keuangan yang membebani IHSG paling besar, maka dari sisi saham, ada tiga emiten perbankan raksasa yang turut membebani IHSG yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mencapai 13,4 indeks poin, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) sebesaar 11,6 indeks poin, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar 8,2 indeks poin.
Berikut saham-saham yang menjadi penekan IHSG di sesi I hari ini.
IHSG berbalik merana di tengah sikap investor yang cenderung wait and see menanti rilis data ekonomi dan agenda penting di global dan dalam negeri pada pekan ini.
Pasar menanti rilis data ekonomi dan agenda penting di global dan dalam negeri pada pekan ini, di mana salah satunya yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pilkada akan diselenggarakan pada Rabu, 27 November 2024. Sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota akan menggelar Pilkada serentak.
Momen pilkada ini cukup jarang terjadi sehingga patut dicermati oleh pelaku pasar. Namun sayangnya, cukup banyak pengamat yang menilai bahwa Pilkada tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan IHSG.
Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengatakan bahwa pengaruh momen Pilkada terhadap IHSG cenderung minim. Ia menilai kondisi sosial politik dalam negeri relatif stabil sehingga yang terjadi pada rupiah cenderung dipengaruhi faktor eksternal.
“Masih terkait dengan perkembangan global walaupun kondisi saat ini tensi geopolitik secara global sudah mulai mereda terutama di Timur Tengah, walaupun ada tensi yang meningkat di Ukraina, ketakutan dari sisi pemerintahan Trump juga sudah mulai mereda dampaknya,” papar Myrdal kepada CNBC Indonesia.
Sementara dari global, pada esok hari, salah satu yang patut diperhatikan adalah angka inflasi pengeluaran pribadi masyarakat AS atau PCE yang diperkirakan lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya.
Konsensus menilai PCE periode Oktober 2024 akan meningkat menjadi 2,3% (year-on-year/yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode September 2024 yang tercatat 2,1% yoy.
Jika hal ini benar terjadi, maka kenaikan ini dapat membuat bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) semakin ragu untuk memangkas suku bunganya pada pertemuan bulan depan. Lebih lanjut, hal ini dapat berdampak kurang baik baik nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berpotensi tertekan.
Sementara itu di hari yang sama, notulen dari pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) November akan dirilis. Risalah tersebut akan menjadi petunjuk lebih lanjut mengenai pandangan The Fed terkait proyeksi suku bunga, terutama setelah pandangan “bertahap” terhadap penyesuaian suku bunga diadopsi dalam pertemuan pasca-pemilu.
Hal ini terjadi di tengah ketidakpastian apakah suku bunga akan diturunkan lebih lanjut pada pertemuan Desember, dengan pemotongan suku bunga yang hanya sebagian dipertimbangkan saat ini menurut perangkat CME FedWatch.
Penurunan tekanan harga yang signifikan dalam PMI Flash AS S&P Global terbaru membuka kemungkinan penurunan lebih lanjut suku bunga, meskipun percepatan pertumbuhan menimbulkan pertanyaan tentang kebutuhan segera untuk melonggarkan kebijakan.
CNBC INDONESIA RESEARCH